Nama: Prananing Meisya M,
NPM: 15410226
Kelas: PBSI 4E
Tetangga
Berhati Patung
Di
sebuah perkampungan terdapat sebuah keluarga yang hidup dengan sederhana.
Keluarga tersebut terdiri atas Samsudin sebagai kepala keluarga, dan Leni
sebagai istri Samsudin. Pasangan yang sangat harmonis ini mempunyai satu orang
anak yang bernama Misri.
Samsudin : “Sebentar lagi istriku akan
melahirkan, tapi apakah masih cukup tabunganku untuk membiayainya lahiran?” (Samsudin yang sedang duduk di teras rumah
seraya memegang keningnya).
Lampu
sorot sedikit demi sedikit mulai redup dan mulai gelap. Suasana rumah Samsudin
berubah menjadi klinik kandungan.
Lampu
sorot berwarna putih sedikit demi sedikit memancarkan sinarnya untuk menerangi
ruang klinik kandungan.
Sore
hari setelah Samsudin pulang kerja, dia mengantarkan Leni sang istri untuk
periksa kandungan di klinik dokter kandungan.
Setelah
Leni diperiksa kandungannya, kemudian Samsudin dan Leni duduk di kursi depan
klinik tersebut. Mereka memperbincangkan mengenai hasil pemeriksanaan tadi.
Leni : “Bagaimana ini Pak? Aku
terpaksa harus melahirkan secara sesar.”
Samsudin : “Iya Bu, aku dari tadi juga memikirkan
itu. Ibu tenang saja bapak akan usahakan mencari uang yang banyak untuk oprasi
sesar besok.”
Cahaya
lampu mulai meredup menandakan pergantian tempat. Sorot lampu putih sedikit
demi sedikit memancarkan sinarnya.
Ketika
sesampainya di rumah, Samsudin masih kepikiran mengenai kelahiran istrinya.
Rupanya Samsudin teringat akan sesuatu, ya dia teringat kalau temannya yang
bernama Yusuf belum membayar hutang kepadanya. Samsudin beritikad untuk menagih
hutangnya besok pagi, dan akhirnya dia memutuskan untuk tidur.
Perpindahaan
dari malam sampai pagi ditandai dengan meredupnya sorot lampu putih dan
berganti dengan sorot lampu oranye, serta diikuti suara ayam berkokok.
Misri
memutuskan untuk berangkat ke sekolah lebih awal karena dia mendapatkan jadwal
piket hari ini.
Misri : “Pak, Bu, Misri berangkat
sekolah dulu ya.” (Misri berpamitan
sambil mencium tangan ke dua orang tuanya)
Leni : “Iya, hati-hati ya nak,
jangan lupa berdoa.”
Sebelum
berangkat kerja Samsudin pergi ke rumah Yusuf terlebih dahulu untuk menagih
hutang.
Samsudin : “Bu, aku mau ke rumah Yusuf dulu. Aku
mau menagih hitang dia.”
Leni : “Iya Pak, hati-hati Pak.” (Leni mencium tangan suaminya)
Sorot
lampu mulai meredup, perpaduan sorot lampu berwana kuning dan putih
perlahan-lahan memancarkan sinarnya. Hal tersebut menandakan pergantian latar
tempat, dari rumah Samsudin ke rumah Yusuf.
Sesampainya
di rumah Yusuf, Samsudin mengetuk pintu rumah Yusuf.
Samsudin : “(tok tok tok, bunyi suara ketukan
pintu) Assalamualaikum Suf, ini aku Samsudin. Kamu di rumahkan?”
Yusuf : “Waalaikumsalam eh Din, silahkan
masuk. (wajah yusuf tampak tegang), ada
apa ya Din, pagi-pagi kok sudah kesini?” (Dengan
ucapan yang terbata-bata)
Samsudin : “Kamu lupa Suf, kalau kamu masih punya
hutang padaku? Aku kesini mau menagih
hutang.”
Yusuf : “Aku tidak lupa kok Din, beri
aku waktu satu bulan lagi ya Din.”
Samsudin : “Aku beri waktu dua minggu dan lunasi
hutangmu. Itu saja yang ingin aku bicarakan, permisi.” (Samsudin pergi dengan raut wajah yang kecewa)
Sementara
itu Yusuf sangat kebingungan bagaimana cara melunasi hutangnya kepada Samsudin,
dia berpikiran hendak melarikan diri dari kampungnya.
Yusuf : “Apa lebih baik aku pergi saja
ya? Ya aku harus pergi dari sini dan mencari pekerjaan di luar pulau jawa.” (sambil memasukkan bajunya ke dalam tas).
Sorot
lampu meredup meninggalkan sosok Yusuf yang hendak melarikan diri, dan
perlahan-lahan sorot lampu memancarkan sinarnya kembali, menyinari rumah
Samsudin.
Satu
minggu telah berlalu semenjak Yusuf pergi dari kampungnya. Samsudin yang baru
sampai dari rumah mendapati anaknya sedang demam tinggi. Dia dan istrinya
merasa panik karena anaknya mengalami demam tinggi.
Leni : “Bagaimana ini Pak? Kok
demamnya semakin tinggi, panggil dokter sebelah Pak, buruan.”
Samsudin : “Iya Bu, Bapak akan panggilkan dokter.”
Misri
ternyata terkena sakit DBD dan harus dibawa ke rumah sakit untuk di opname. Samsudin kebingungan karena dia
minim keuangan.
Lalu
Samsudin memutuskan untuk pergi ke rumah Yusuf guna menagih hutang.
Sorot
lampu kuning menandakan rumah Yusuf. Samsudin lalu mengetuk pintu rumah Yusuf
namun nihil, tidak ada jawaban satupun dari dalam rumah. Tanpa menunggu lama
dia menelfon Yusuf.
Samsudin : “Halo Suf, kamu di mana? Rumahmu kok
sepi?”
Yusuf : “Aku tidak tinggal di ditu lagi
Din.” (Yusuf langsung mematikan
teleponnya).
Samsudin : “Halo Suf! Halo! Sial dia kabur
rupanya.” (Samsudin meneteskan air
matanya, karena dia telah di tipu oleh tetangganya sendiri).
Samsudin
kebingungan karena empat bulan lagi istrinya juga hendak melahirkan. Samsudin
terpaksa menjual sebagian tanahnya untuk membiayai perawatan dan persalinan
istrinya.
Demikianlah
Yusuf yang tidak mau membayar hutang kepada Samsudin. Padahal Misri anaknya
sedang opname karena DBD. Tidak hanya
itu, Leni sedang mengandung lima bulan dan butuh biaya yang besar.